Kemendikbudristek bekerja sama dengan Titimangsa dan KawanKawan Media, kembali merilis 10 episode drama audio sebagai Sandiwara Sastra Musim Kedua bertema ‘Misteri Nusantara’ di Kemendikbudristek, Jakarta pada Senin (30/10/2023).
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, mengapresiasi peluncuran Sandiwara Sastra Musim Kedua. Menurutnya, konten-konten di dalam siniar ini dapat digunakan oleh orang tua dan juga guru dalam menceritakan kembali cerita-cerita rakyat Nusantara.
“Saya sangat mengapresiasi semua tim yang tidak hanya terus membuat karya baru, tetapi juga mencari cara-cara baru dalam berkarya. Dengan mengalihwahanakan sastra ke dalam audio,” kata Nadiem Makarim.
“Sandiwara Sastra tidak hanya kreatif, tetapi juga memiliki unsur edukatif yang bisa digunakan oleh orang tua atau guru untuk memperkenalkan cerita-cerita rakyat Nusantara kepada anak-anak dan murid-murid kita,”sambungnya.
Selaras dengan hal tersebut, Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Ahmad Mahendra, mengatakan bahwa saat ini, sastra menempati posisi penting dalam pemajuan kebudayaan dan pembentukan karakter bangsa.
“Sandiwara Sastra bukan hanya menjadi sebuah karya seni dan inovasi. Lebih dari itu, Sandiwara Sastra adalah sebuah upaya untuk mengangkat literasi. Melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra, masyarakat dapat mengenal lebih dekat sifat kemanusiaan,” ujar Mahendra.
“Di samping itu, upaya ini juga sebagai gerakan untuk menambah kecintaan sastra di kalangan generasi muda,” imbuhnya.
Disutradarai oleh Joned Suryatmoko dan Heliana Sinaga, Sandiwara Sastra Musim Kedua merupakan alih wahana karya sastra Indonesia ke dalam media audio yang berangkat dari cerita rakyat (folklore), urban legend, maupun cerita pendek di wilayah Nusantara.
Sepuluh episode cerita tersebut ditulis oleh sastrawan kenamaan Indonesia dari Papua hingga Aceh. Di antaranya Aprila R. Wayar, Kurnia Effendi, Putu Wijaya, Mario F. Lawi, Faisal Oddang dan Feby Indirani, Risa Saraswati, Ilya Sigma dan Priesnanda Dwisatria, Hasan Aspahani dan Ali Sadli Salim, Guntur Alam, serta Azhari Aiyub.
Joned Suryatmoko menyampaikan penyutradaraan pada setiap episode juga berbeda-beda mempertimbangkan nilai lokalitas yang disampaikan para penulis.
“Sudut pandang yang beragam ini
semoga memberi para pendengar pengalaman baru atas cerita misteri di Nusantara. Sebagai misteri pada setiap episode di musim ini juga menawarkan paradoks,” ujar Joned.
“Mereka terlihat berkabut dan samar. Tapi begitu masuk ke dalam ceritanya, kita justru melihat nilai-nilai baru yang selama ini terlihat gelap dari karakter manusia jejadian, hantu, gedung tua, hingga kesaktian turun-temurun,”sambungnya.
Sepuluh judul episode yang dihadirkan pada Sandiwara Sastra Musim Kedua ini menautkan beragam kisahan misteri dengan kearifan lokal masing-masing daerah.
Adapun 10 judul tersebut adalah Perempuan Perkasa (Papua), Kampung Mati dan Hantu Berang-berang (Kalimantan), Si Manis Jembatan Ancol (Jakarta), Pahlawan (Bali), Bombol dan Babi (NTT), Keris (Jawa), Di Tubuh Tara Dalam Rahim Pohon (Makassar), Mimpi Jurai (Sumatera), Sandekala (Jawa Barat), dan Halo Bleki (Aceh).
Sementara itu, Heliana Sinaga mengatakan dalam Sandiwara Sastra, audio menjadi sarana yang menantang saat mengembangkan kekuatan dialog tokoh, deskripsi cerita, dari suasana dan latar hingga unsur lainnya.
“Hal ini menarik untuk digali, karena efek imajinasi yang dihadirkan audio selalu berbeda bagi setiap pendengar yang mengalaminya,” ungkap Heliana.
Diproduseri oleh Happy Salma, Yulia Evina Bhara, dan Pradetya Novitri, Sandiwara Sastra Musim Kedua dilengkapi dengan tata musik dan efek suara yang digarap oleh Tesla Manaf Effendi dan disunting oleh Pramudya Adhy Wardana.
Seluruh episode dihadirkan dengan lagu tema berjudul “Niskala” karya Rara Sekar yang khusus diciptakan untuk program Sandiwara Sastra Musim Kedua dengan pengantar cerita ditulis oleh Nicholas Saputra.
Sandiwara Sastra Musim Kedua ini diproduksi dalam kurun waktu satu tahun melalui berbagai proses workshop Panjang. Termasuk riset, penulisan naskah, latihan, perekaman, penyuntingan, serta pembuatan musik, dengan melibatkan para penulis dan aktor yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia serta sutradara yang mengarahkan dari New York dan Bandung.
“Sejak 2021, kami sudah memulai prosesnya. Sandiwara Sastra Musim Kedua ini bukan hanya menceritakan sesuatu yang tak terlihat, namun kita ingin memberikan pilihan bahwa setiap daerah memiliki aneka ragam cara untuk menghadapi sebuah persoalan yang terjadi di sekitarnya,” ujar Happy Salma.
Yulia Evina berharap, kerja sama yang berkelanjutan dengan Kemendikbudristek ini dapat memberikan potensi distribusi pendengar yang lebih luas, tidak hanya masyarakat umum, namun juga pelajar dan mahasiswa.
“Alih wahana karya sastra ke dalam bentuk sandiwara (audio) ini sebenarnya adalah cara yang digemari pada tahun 80an-90an,” ujarnya.
Sandiwara Sastra Musim Kedua dimainkan oleh para aktor Indonesia, dua di antaranya merupakan pengisi suara legendaris sandiwara radio yang populer di era-90an, yakni Ferry Fadli dan Ivonne Rose.
Para aktor mumpuni lainnya yang terlibat dalam Sandiwara Sastra Musim Kedua ini adalah Chelsea Islan, Raline Shah, Marcella Zalianty, Landung Simatupang, Ratna Riantiarno, Elly Lutan, Maudy Koesnaedi, Widi Mulia, Nova Eliza, Rangga Riantiarno, Nugie, Aming, Dewi Gita, Nicholas Saputra, Sal Priadi dan banyak lagi.
Sandiwara Sastra Musim Kedua ini akan tayang pada siniar @budayakita mulai 3 November 2023.
Selain itu, masyarakat umum juga bisa mengunjungi pameran poster dan audio yang didesain oleh Sigit D. Pratama dari .this/Play studio, yang berlangsung mulai 30 Oktober s.d. 12 November 2023 di Lobby Gedung E, Kantor Kemendikbudristek, Jakarta.
Sebelumnya, Sandiwara Sastra Musim Pertama telah dirilis pada tahun 2020. Sandiwara Sastra Musim Pertama juga terdiri dari 10 episode yang mengadaptasi dari 10 karya sastra Indonesia.
Di antaranya Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, novel Helen dan Sukanta karya Pidi Baiq, cerita pendek (cerpen) Kemerdekaan karya Putu Wijaya, cerpen Menunggu Herman karya Dee Lestari, cerpen Berita dari Kebayoran karya Pramoedya Ananta Toer.
Kemudian, novel Lalita karya Ayu Utami, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen Persekot karya Eka Kurniawan, novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi.