The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks, atau Sumbu Kosmologis Yogyakarta dan penanda bersejarahnya, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Penetapan ini diumumkan pada pertemuan Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee/WHC) UNESCO ke-45, pada 18 September 2023 di Riyadh, Arab Saudi.
Penetapan tersebut menjadikan Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia asal Indonesia ke-6 yang telah diakui UNESCO, setelah Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Prasejarah Sangiran (1996), Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012), dan Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019).
Ditetapkannya Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO diseleksi dari beberapa kriteria. Di antaranya pertukaran nilai dan gagasan penting antara berbagai sistem kepercayaan, seperti animisme, Hindu, Buddha, Islam Sufi, dan pengaruh dari Barat.
Sejarah Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Dijelaskan dari laman kemendikbud.go.id, Sumbu Kosmologis Yogyakarta adalah sumbu imajiner yang terbentang sepanjang 6 km dari Utara ke Selatan. Sumbu imajiner tersebut membentuk garis lurus yang ditarik dari Panggung Krapyak (selatan), Keraton Yogyakarta (tengah), dan Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig) atau Tugu Yogyakarta (utara).
Namun, tahukah Sobat Parekraf, Sumbu Kosmologis di Yogyakarta tidak hanya sekadar sebagai garis imajiner saja. Konon, garis tersebut memiliki sisi spiritual yang diambil dari konsepsi Jawa. Sumbu Kosmologis Yogyakarta merupakan gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755).
Kala itu, Sultan Hamengku Buwono I membangun Kota Yogyakarta berdasarkan konsep prinsip Jawa yang mengacu pada bentang alam sekitar. Prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunannya adalah Hamemayu Hayuning Bawono yang memiliki arti: membuat bawono (alam) menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat).
Akhirnya, konsep tersebut diwujudkan dengan menciptakan sumbu imajiner yang melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam berdasarkan lima unsur: api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan akasa (ether).
Foto: Tugu Pal Putih yang menjadi ikon Kota Yogyakarta (Shutterstock/Creativa Images)
Makna Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Garis imajiner Sumbu Kosmologis Yogyakarta menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. Contoh, perjalanan dari Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta mewakili konsep sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia.
Hal ini didasari Panggung Krapyak yang bermakna awal kelahiran. Itu mengapa, perjalanan Panggung Krapyak ke arah Keraton Yogyakarta melambangkan konsep sangkaning dumadi: perjalanan manusia sejak di dalam rahim, beranjak dewasa, hingga menikah dan punya anak.
Di sisi lain, warna putih pada Tugu Yogyakarta melambangkan kesucian hati. Hal inilah yang menjadikan perjalanan dari Tugu Yogyakarta ke arah Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang Pencipta, sesuai dengan konsep paraning.
Wisata di Sumbu Kosmologis Yogyakarta
Dikenal sebagai kota wisata, tidak heran jika ada banyak tempat wisata di sekitar Sumbu Kosmologis Yogyakarta. Bahkan, destinasi tersebut menawarkan pengalaman wisata budaya dan sejarah yang sangat menarik untuk dijelajahi.
Misal, pada kawasan Sumbu Kosmologis Selatan Yogyakarta, Sobat Parekraf bisa mengunjungi Panggung Krapyak, Dinding, Gerbang, dan Kubu Pertahanan (Plengkung Nirbaya, Plengkung Jagabaya, Plengkung Jagasura, dan Plengkung Tarunasura; serta Jokteng Kulon, Jokteng Lor, dan Jokteng Wetan), Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Alun-alun (Selatan dan Utara), Kompleks Tamansari, dan Kompleks Masjid Gede.
Sementara itu, di kawasan Sumbu Kosmologis Utara Yogyakarta, Sobat Parekraf bisa mulai menjelajahi Pasar Beringharjo, Kompleks Kepatihan, dan Monumen Tugu Yogyakarta. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan di sana, seperti jalan-jalan, berburu kuliner khas, hingga membeli produk ekonomi kreatif lokal sebagai oleh-oleh.