Bermula dari riset sederhana yang dilakukan oleh Franki Indrasmoro, musisi sekaligus orang yang bekerja di divisi membership di Massive Music, menemukan fakta mencengangkan sekaligus miris.
Pria yang akrab disapa sebagai Pepeng ini mengungkap, dari 15 pencipta lagu yang dijadikan sebagai objek riset tentang publishing ternyata hanya empat pencipta lagu yang benar–benar memahami publishing.
Padahal, lanjut Pepeng, ini penting. Sebab terkait hak cipta dan pemakaian lagu yang mereka ciptakan sendiri.
Dan yang tak kalah penting adalah untuk menjaga hak moral dan hak ekonomi sang pencipta lagu itu sendiri.
Berangkat dari data tersebut, maka Pepeng pun membuat sosialiasi untuk para pencipta lagu bertajuk ‘Malem Malem Publishing’.
Sosialisasi sudah berjalan sebanyak empat kali di beberapa kota; Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.
“Saya itu bekerja (di Massive Music) untuk merekrut pencipta lagu dan mengajak mereka untuk bergabung dengan Publishing. Bagaimana saya mau mengajak mereka bergabung, sementara mereka (pencipta lagu) tidak mengerti dan memahami betul tentang publishing,” ungkap Pepeng di Digra Coffee, Lebak Bulus II, Jakarta Selatan.
Dari sisi industri, kata Pepeng, bisa saja mengambil keuntungan secara sepihak. Tapi hal ini tidak etis. Karena, ada hak yang harus diterima atau diberikan ke sang pencipta lagu. Untuk itu, upaya pertama yang harus dilakukan adalah sosialisasi tentang pentingnya publishing ini.
“Malem Malem Publishing ini sudah berlangsung empat kali, di Bandung pada bulan September, Jakarta di Kios Ojo Keos, November, Yogyakarta Desember dan kembali lagi Jakarta di Digra Coffee kali ini. Mendatang di bulan Maret akan digelar lagi di TIM, Jakarta, lebih spesifik ke pencipta lagu komunitas Jazz dan music kontemporer,” ujarnya.
Penyelenggaraan Malem Malem Publishing ini, mendapat sambutan positif. Sudah ada sekitar 300 pencipta lagu antusias mengikuti sosialisasi ini.
“Di Bandung diikuti 50 pencipta lagu, Jakarta dua kali acara 100, kemudian di Yogyakarta 150. Kota Jogja paling antusias,” lanjutnya.
Etika dan Pembajakan Digital
Dikatakan, dari setiap penyelenggaraan Malem Malem Publishing , etika penggunaan lagu dan cara mendapatkan hak ekonomi paling banyak dipertanyakan oleh para pencipta lagu. Serta pembajakan di ranah digital.
“Kasus yang paling banyak yaitu, ada beberapa artis yang karya lagunya diunggah ke spotify sama pihak yang tidak diketahui siapa, lalu kreditnya kadang diganti, judulnya diganti, dll. Ini yang dikatakan pembajakan di era digital. Beberapa artis atau musisi yang pernah mengalami ini di antaranya adalah Mahalini, The Fly, Naif,” terang Pepeng.
Permasalahan selanjutnya adalah banyak pihak mencover lagu di kanal YouTube, tanpa ijin ke sang pencipta lagu maupun ke publishing yang menaunginya. Pencipta lagu pun banyak yang belum memahami hak ekonomi dari lagu mereka ketika dicomot oleh kreator konten ketika di unggah di kanal Youtube.
“Jika, si pencipta lagu tergabung ke salah satu publishing, maka komposer berhak mendapatkan hak ekonomi apabila karya lagunya di-cover di YouTube,” tandasnya.
Meski demikian, bisa dan sah sah saja menjadi tak berbiaya bagi sang kreator konten asalkan, ada kesepakatan resmi dan tertulis terlebih dahulu dengan pencipta lagu dan publishing yang menaunginya.
Akan tetapi, hak komersial dari penayangan harus tetap dibayarkan ke pencipta lagu. Artinya tetap ada konversi rupiah bagi pencipta lagu.
“Ada juga teknik pembagian dengan sistem bayar dimuka atau dibayar sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Dan ini pun sah sah saja. Yang penting ada kesepakatan antara pencipta lagu dan pemakai lagu kemudian dilengkapi dengan surat kesepakatan resmi,” tutup Penpeng di acara yang digelar pada Rabu malam (31/01).
Jika sosilasi ini tersampaikan dan dipahami serta dimengerti secara jamak antara pencipta lagu dan pengguna karya cipta lagu, sudah dapat dipastikan hak moral dan hak ekonomi pencipta lagu menjadi sejahtera. Dan, akan menjadi “Home for song writers, Heaven for song users”.