Follow Eventguide.id untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel
EVENTGUIDE.ID – Sebagian besar masyarakat Indonesia bergantung hidupnya di area pesisir atau pulau kecil. Keberadaannya memiliki risiko yang mengancam antara lain abrasi, banjir rob, hingga cuaca ekstrem.
Merespon tingginya kerentanan ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) menyelenggarakan seminar dengan tema “Ancaman Dari Tepi Pantai: Mencari Strategi Nasional untuk Resiliensi Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil” pada hari ketiga rangkaian sesi konferensi dalam The 4th Asia Disaster Management & Civil Protection Expo & Conference (ADEXCO) di Jakarta International Expo (JIExpo), Jumat (12/9).
Tema ini diangkat sebagai upaya untuk mencari strategi nasional dari para pembicara yang hadir dengan berbagi pengalaman dari contoh dan praktik-praktik baik yang sudah dilakukan di berbagai daerah.
Dalam Ignite Stage I: Berbagi Praktik Baik, Palang Merah Indonesia (PMI) yang diwakili Ridwan S. Carman mengungkapkan PMI bertugas mendampingi pemerintah dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada. PMI banyak bekerja di akar rumput bersama akademisi dan tokoh agama. Sinergitas perlu diwujudkan untuk membangun ketangguhan masyarakat di daerah pesisir.
Dilanjutkan oleh dua pembicara dari Universitas Pertahanan RI (UNHAN) Brigadir Jenderal TNI Susanto dan Laksamana Pertama TNI Dr. Yanda Dwira Firman Z. UNHAN mendapat mandat mencari solusi untuk mitigasi bencana pasang surut di Muara Angke.
Solusi yang dikembangkan oleh UNHAN dengan membangun rumah apung dan rumah panggung beserta penataan wilayah lingkungan pemukiman di pesisir Muara Angke.
Abdul Wahib Situmorang dari Yayasan CARE Peduli (YCP) menambahkan bahwa daerah yang memiliki mangrove mengalami dampak yang lebih ringan atas hantaman gelombang. Keterlibatan masyarakat terutama perempuan cukup penting sebagai pengambil keputusan di garis depan.
Setelah sesi Ignite Stage I, dilanjutkan dengan Sesi Panelis yang diawali Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati selaku pembicara kunci. Raditya Jati memberikan gambaran pentingnya resiliensi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Indonesia adalah negara kepulauan yang rawan bencana dan bencana tsunami Aceh menjadi wake up call bagi kita.
“Kepulauan di Indonesia berzona merah dan kuning, kita harus melihat bahwa risiko akan lebih tinggi, tapi bukan berarti kita menyerah.” jelas Raditya.
Raditya Jati menekankan bahwa bangsa Indonesia tidak bisa menyerah pada situasi ini, tapi justru menjadi momentum untuk membangun kesadaran kolektif agar siap menghadapi ancaman.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Mohamad Rahmat Mulianda melanjutkan paparan mengenai tantangan pembangunan dan perpindahan penduduk akibat penggenangan wilayah pesisir yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Menurutnya sangat rentan untuk terjadi pergeseran tata ruang. Kondisi ini harus dikelola dengan baik untuk mencegah dampak buruk yang berkelanjutan.
Potensi kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai Rp72,9 triliun jika wilayah pesisir tidak dapat mengantisipasi risiko bencana terhadap kegiatan ekonomi.
Hadir melalui daring, Direktur Perencanaan Ruang Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Abdi Tunggal Priyanto. Abdi menekankan penting melakukan perencanaan ruang laut yang terintegrasi dan mempertimbangkan mitigasi bencana.
Penurunan daya dukung lingkungan dan sosial terjadi akibat tata ruang di wilayah pesisir yang sangat kompleks. Hal ini diperparah dengan kondisi penurunan tanah.
Manajer Program Bidang Lingkungan Dompet Dhuafa, Ahmad Baihaqi memaparkan program lembaganya yang telah dijalankan berada di wilayah Timur Sloko, Demak. Wilayah ini menghadapi kondisi yang sangat ironis: pembangunan proyek tol laut dan tanggul laut yang seharusnya menjadi solusi, justru memperparah kondisi rob dan kini menyebabkan kekeringan.
Di tengah keterbatasan lahan, pihaknya memulai program konservasi mangrove yang unik. Motivasi utamanya bukan sekadar ekologis, tetapi juga kultural, di mana masyarakat menanam mangrove di atas kuburan leluhur mereka sebagai upaya untuk ‘mempertahankan sumber makanan’ bagi arwah mereka.
Sebagai narasumber terakhir dari sesi ini, Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Avianto Amri memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya kebijakan nasional relokasi akibat bencana. Kedua, pelibatan masyarakat perlu dilakukan secara bermakna. Ketiga, pastikan relokasi hanya sebagai opsi terakhir. Keempat, integrasi relokasi dengan ruang adaptif dan strategi resiliensi pesisir. Kelima, pentingnya kita memiliki cetak biru ketangguhan bencana untuk kawasan pesisir dan pulau kecil.
Dalam Ignite Stage II: Berbagi Praktik Baik dimulai oleh narasumber dari Program Manager of Coastal and Marine Areas & Advocacy Officer, Yayasan Penabulu, Jagat Patria memberikan Rekomendasi untuk melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan, penguatan pengetahuan lokal secara formal dan informal, serta mitigasi berbasis komunitas.
Sejalan dengan Yayasan Penabulu, Kepala Deputi Manajemen Bencana Rumah Zakat, Bagas Dwi Satriyo juga melibatkan masyarakat seperti kelompok ibu-ibu dan anak muda, mendengarkan ide dan harapan mereka, termasuk merumuskan strategi yang perlu diterapkan dalam pengelolaan mangrove.
Sesi ini diakhiri oleh Mahariah Sandri dari Women in Local Humanitarian Leadership (WLHL) yang menceritakan tentang aktivitas Kelas Iklim untuk anak-anak lokal, anak-anak SMA yang kami didik yang akan menjadi mentor adik-adik mereka. Kemudian membuat Lab Plastik menggunakan teknologi pengolahan sampah lautan untuk diubah menjadi BBM.
“Kami buat model Rumah Lestari, melakukan kegiatan Circulating Island, dari 100 pulau lebih hanya ada 11 pulau yang berpemukiman, untuk menyelesaikan persoalan lingkungan dan lebih bertahan di tengah-tengah dampak perubahan iklim,” ujarnya.
ADEXCO 2025 kembali hadir sebagai bagian dari Indonesia Energy & Engineering Series 2025 (IEE Series 2025), bersama dengan Construction Indonesia, Concrete Show South-east Asia-Indonesia, Building Systems & Automation Indonesia, dan Water Indonesia.